AKURAT.CO
Sejak dulu, masjid berfungsi sebagai tempat ibadah sekaligus pusat perjuangan umat Islam dalam melawan penjajah.
Ini dibuktikan dengan keberadaannya yang tak bisa dilepaskan dari tokoh atau para pejuang kemerdekaan.
Karena itu, selain telah berusia ratusan tahun, masjid-masjid ini juga memiliki sejarah yang luar biasa dalam perjuangan melawan penjajah Belanda.
Nah, di tengah hingar-bingar gemerlap DKI Jakarta, ternyata masih menyimpan banyak masjid tua yang bersejarah.
Berikut ini lima masjid tertua di Jakarta dan sejarahnya:
1. Masjid Al-Alam Cilincing
Masjid Al-Alam terletak di Jl. Marunda RT.09 / RW.01, Marunda, Cilincing, Jakarta Utara. Masjid ini diperkirakan dibangun tahun 1619 oleh Fatahillah. Salah satu tokoh atau pahlawan masyarakat Betawi yang begitu melegenda dan dikaitkan dengan masjid ini adalah Si Pitung.
Menurut penuturan tokoh masyarakat Marunda, Pahlawan tanah Betawi ini banyak menghabiskan waktunya untuk bersembunyi dari kejaran kompeni di Masjid Al-Alam.
Konon, bila beliau bersembunyi di masjid ini, dia bisa tidak terlihat oleh Belanda. Itu sebabnya, masjid ini seringkali disebut juga sebagai Masjid Si Pitung.
Pada tahun 1975 pemerintah provinsi DKI Jakarta menetapkan Masjid Al Alam sebagai Cagar Budaya.
2. Masjid Jami’ As-Salafiyah, Jatinegara Kaum
Masjid Jami’ Assalafiyah atau juga dikenal sebagai Masjid Pangeran Jayakarta, berada di kawasan Jatinegara Kaum, Klender, Jakarta Timur.
Keberadaan masjid ini tak bisa dipisahkan dari sejarah perjuangan Pangeran Jayakarta, penguasa terakhir Jayakarta sebelum kekalahannya menghadapi serbuan pasukan VOC (Belanda) dibawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen pada tanggal 30 Mei 1619.
Kekalahan pasukan Pangeran Jayakarta dalam perang melawan VOC itu, berakibat pada dibumihanguskannya Jayakarta oleh pasukan VOC, termasuk keraton dan Masjid Kesultanan Jayakarta yang berdiri megah di sekitar kawasan yang kini dikenal sebagai Hotel Omni Batavia.
Belanda menganggap Pangeran Jayakarta tewas di dalam sebuah sumur di kawasan Mangga Dua, Jakarta. Namun nyatanya yang diberondong peluru oleh pasukan Belanda di dalam sumur tersebut, tak lebih dari selembar jubah dan sorban Pangeran Jayakarta yang sengaja dilemparnya ke dalam sumur tersebut untuk mengelabui pasukan Belanda.
sedangkan beliau bersama para pengikutnya berhasil melarikan diri ke wilayah yang kini dikenal sebagai Jatinegara Kaum. Di sini, Pengeran Jayakarta membuka daerah baru serta mendirikan masjid yang kini dikenal dengan nama Masjid Jami’ Assalafiyah.
3. Masjid Jami’ Al Atiq, Kampung Melayu
Berdirinya Masjid Al-Atiq konon bertepatan dengan berdirinya masjid yang berada di Banten dan Karang Ampel, Jawa Tengah. Sehingga dikatakan sebagai cabang masjid yang didirikan oleh Sultan Maulana Hasanuddin tersebut.
Pada tahun 1619, ketika VOC masih berkuasa, keadaan bangunan masjid sangat memprihatinkan. Maka, ketika pengikut Pangeran Jayakarta tengah menelusuri Batavia melalui Sungai Ciliwung dengan menggunakan perahu, salah satu rombongan secara kebetulan melihat sebuah bangunan masjid yang tidak terpelihara, bahkan nyaris roboh.
Rombongan pun segera memutuskan untuk menetap di wilayah itu, sekaligus memperbaiki bangunan masjid yang telah ada sebelumnya.
Keterangan lain menyebut, konon masjid ini merupakan tempat persembunyian Si Pitung dan Si Ji’ih, dua jagoan Betawi yang terkenal karena membela rakyat kecil dan menentang Kolonial Belanda.
Setelah melarikan diri dari penjara Meester Comelis (kini Jatinegara) pada tahun 1890-an, Si Pitung dan Si Ji’ih disembunyikan di masjid ini selama berbulan-bulan.
4. Masjid Al Anshor, Pekojan
Keberadaan masjid ini untuk pertama kalinya diketahui dari sebuah laporan berangka tahun 1648, yang ditujukan kepada Dewan Gereja di Batavia. Mesigit ini berada di perkampungan yang ketika itu ditinggali oleh orang-orang koja (juga disebut kojah atau khoja, pedagang) kaum Moor, yakni muslim dari pesisir Koromandel, India.
Masjid al-Anshor didirikan oleh Gouw Cay alias Jan Con, seorang sekretaris dari Souw Beng Kong – kapitan Cina pada masa Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen.
Gouw Cay, seorang tukang kayu Tionghoa muslim dari Banten. Pada tahun 1621, ia memperoleh sebidang tanah di Kampung Bebek, yang terletak di sebelah utara Angke. Di atas tanah tersebut ia berniat mendirikan sebuah masjid. Tidak diketahui secara tepat, kapan masjid ini resmi berdiri.
5. Masjid Raya Al-Arif, Pasar Senen
Pada mulanya masjid ini disebut Masjid Jami Jagal Senen. Sebab, masjid dibangun di tengah tengah perkampungan para tukang jagal hewan ternak di Pasar Senen. Baru kemudian di tahun 1969, namanya diganti menjadi Masjid Raya Al-Arif Jagal Senen.
Masjid ini didirikan oleh seorang pedagang dari Bugis bernama Upu Daeng H Arifuddin, sekitar tahun 1695. Selain untuk syiar Islam, juga sebagai tempat beribadah para pedagang, masyarakat dan perantau.
Upu Daeng Arifuddin, dikenal sebagai keturunan Raja Goa dan juga pejuang yang disegani kolonial Belanda. Arifuddin wafat pada tahun 1745. Makamnya terletak di bagian barat masjid.